Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

Data yang Tak Bisa Dianggap Remeh

Apa yang terpenting dari era digital di jaman sekarang? Ponsel canggih kaya fitur yang "kekinian"? Ataukah perangkat yang bisa membantu kita bekerja darimana saja dan kapan saja? Era digital saat ini merupakan saat dimana informasi dan data menjadi sesuatu yang penting untuk dicermati. Bagaimana tidak, setiap apapun yang berhubungan dengan jaringan internet terkadang memerlukan berbagai data dan informasi. Media sosial misalnya, mengharuskan kita sedikit " membeberkan" informasi terkait identitas, yang terkadang bersifat sensitif. Data sensitif tersebut, apabila diketahui oleh orang yang salah, tentunya akan menjadi sesuatu yang buruk. Telah banyak kejahatan yang terjadi akibat penyalahgunaan informasi. Sebenarnya, pemberian informasi terkait dengan identitas merupakan hal yang penting. Misalnya saja dalam media sosial yang mewakili identitas kita di internet. Sayangnya, pemberian informasi ini kadang jatuh ke tangan pihak yang tidak berkepentingan. Tak hanya da

Facebook dan Gaya Hidup

Belakangan ini, sebenarnya saya jarang sekali membuka Facebook. Sudah lama status di Facebook pun tidak saya update. Saya membuka Facebook pun mungkin lebih untuk bermain game daripada memanfaatkannya sesuai fungsi aslinya sebagai media sosial. Namun, meski saya pribadi sudah agak malas membukanya, Facebook tetaplah menjadi sebuah media sosial yang paling terpopuler di dunia. Facebook merupakan sebuah media sosial yang menurut saya bisa "menyihir" penggunanya. Facebook bukanlah media sosial yang pertama, sebelumnya sudah ada beberapa yang mendahuluinya. Namun Facebook begitu fenomenal hingga mengakibatkan penggunanya menjadi begitu kecanduan. Mereka rela menghabiskan waktu hingga berjam-jam menatap layar. Facebook menjadi tempat yang menyenangkan bagi penggunanya untuk saling berbagi. Facebook merupakan media sosial yang mengakomodir penggunanya untuk berbagi apa saja. Link berita yang dibaca, foto, video, bahkan perasaan si pemilik akun. Facebook pelan namun pasti telah

Karya yang Dihargai Setelah Kematian

Saya kuliah di jurusan Manajemen. Salah satu materi kuliah yang mungkin saya ingat betul adalah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Saya tak akan menjelaskan apa itu di tulisan ini, saya hanya ingin mencermati satu kebutuhan yang sebenarnya hampir setiap orang memilikinya yakni kebutuhan aktualisasi diri. Setiap orang sekecil apapun, saya yakin memiliki sebuah karya. Tak perlu misalnya menjadi seorang seniman untuk menghasilkan sebuaj karya. Setiap orang memiliki imajinasinya sendiri yang kadang malu untuk diungkapkan, itulah kenapa kadang kebutuhan aktualisasi diri ini tidak terdeteksi. Seorang Vincent Van Gogh, penulis yang begitu terkenal ternyata baru terkenal akan karyanya saat dia telah meninggal. Ketika masih hidup, mungkin banyak karyanya yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Semua orang suka untuk dipuji ataupun dihargai karyanya. Entah itu karya kecil, lebih-lebih sebuah karya yang dia perjuangkan untuk bisa terwujud. Namun, menghargai seseorang terkadang sulit,

Bicara "Ponsel Jadul"

Sekitar 10 - 5 tahun yang lalu, saya sudah sangat menyukai internet. Saya bisa menghabiskan uang puluhan ribu rupiah untuk bisa mengakses internet di warnet. Maklum saja, dulu ponsel yang bisa dipakai untuk internetan masih terbilang cukup mahal. Itupun tarif pulsanya tidak bisa dibilang murah, dan kala browsing lewat ponsel, biasanya saya mematikan fitur fotonya untuk menekan biaya. Kini sungguh kejadiannya berbeda. Akses internet tak lagi terbatas seperti dulu. Dimanapun berapa mengakses internet amat mudah dilakukan dengan menggunakan ponsel pintar (smartphone). Ya, ponsel kini semakin pintar, tak lagi seperti dulu yang hanya bisa digunakan untuk telepon dan sms semata. Perkembangan teknologi yang pesat menimbulkan evolusi gaya hidup digital. Saat ini serba online. Mau berkomunikasi lebih mudah dengan hadirnya messenger dan media sosial. Menonton film? Mudah pula dengan streaming. Apalagi yang kurang? Bermain game online dengan seluruh penduduk dunia bisa dilakukan dimana saja. B

Satu Ponsel Takkan Cukup

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa jumlah pelanggan operator telekomunikasi di Indonesia lebih besar dibanding jumlah penduduk. Ini berarti beberapa orang di Indonesia memiliki lebih dari satu ponsel. Beragam alasan yang mendasari orang memiliki lebih dari satu nomor ponsel. Penetrasi operator dalam menjaring calon pengguna begitu masive. Lihat saja, harga kartu perdana yang terjangkau, bahkan nyaris gratis ditambah beragam bonus yang ditawarkan begitu menggiurkan. Beberapa bahkan menganut sistem sekali pakai, yang artinya membeli kartu perdana untuk dimanfaatkan bonusnya, setelah itu buang. Beberapa ada yang memanfaatkannya secara negatif. Penipuan dengan menggunakan kartu perdana murah ini misalnya. Kembali ke masalah kepemilikan ponsel. Penetrasinya di Indonesia baru-baru ini begitu kuat. Beragam merk dan model dari produsen ponsel saling berlomba menarik hati konsumen di Indonesia. Bak gayung disambut, konsumen pun tak keberata mencoba ata

Karena Smartphone Tak Sekedar Ponsel

Ketika masih SMP, saya memiliki hobi cukup unik yang sayangnya tak patut untuk ditiru. Saya punya kegemaran untuk "iseng" mengerjai teman-teman yang punya telepon rumah. Bermodal uang recehan, saya memggunakan telepon umum yang kebetulan terletak tak jauh dari sekolah untuk menelepon teman sekedar mengganggu tidur siangnya. Ketika itu, pemilik telepon rumah di sebuah kota bisa dihitung dengan jari. Ya, waktu itu akhir tahun 90an, pemilik telepon rumah tak hanya menentukan kebutuhan komunikasi semata, namun juga menunjukkan status strata sosial. Kini pun sama, pemilik telepon rumah juga bisa dihitung dengan jari. Namun, bukan karena hanya yang mampu yang memilikinya, namun lebih karena kalah pada penetrasi telepon seluler (ponsel). Telepon rumah kali ini lebih sebagai sarana pendukung sebuah bisnis. Seakan dengan alasan keterbatasan mobilitas menjadi sebuah alasan semakin tergesernya peran telepon rumah. Menurut pengamatan saya, penetrasi telepon seluler dimulai dari awal t

"Kan Ada Google"

Terus terang kadang saya sulit membayangkan sekolah pada jaman dahulu. Saya membayangkannya sekolah jaman dulu mungkin sangat sulit. Untuk mendapat nila baik, mungkin kita diharuskan untuk menghafal sekian banyak materi pelajaran. Saya pas SMA pun merasa seperti itu. Saya sendiri gampang malas untuk belajar. Dulu saya mengambil jurusan IPS saat SMA, dan jurusan ini apapun alasannya harus paham dan lain sebagainya, tetap saja dihadapkan untuk menghafal atau setidaknya membaca materi pelajaran yang segitu banyaknya. Untuk saat ini, mungkin tidak berubah. Saya tidak memperhatikan sekolah sekarang, hanya saja prediksi saya tetap saja siswa dihadapkan untuk menguasai materi pelajaran segitu banyaknya. Namun, berbeda dengan jaman dahulu, setidaknya mungkin saat ini siswa akan lebih mudah belajar ataupun memahami materi dengan adanya Google. Ya, saya merasa Google telah mampu mengubah paradigma belajar siswa. Ada solusi alternatif misalnya saat biaya membeli buku pelajaran yang lumayan men

Hemat Kuota

Di jaman sekarang ini, rasanya sungguh tidak mungkin bisa dilepaskan dengan kebutuhan data internet. Pada sebuah smartphone misalnya, rasanya pemakaian untuk data internet lebih besar ketimbang telepon dan sms. Kebutuhan di era digital saat ini memaksa orang untuk selalu update. Alhasil kebutuhan kuota data pun makin membengkak. Bahkan kadang menghabiskan porsi tersendiri dari pengeluaran. Rasanya perlu lebih bijak mengatur pengeluaran utamanya untuk kebutuhan internet agar tidak mengganggu kebutuhan lainnya. 1. Kenali Kebutuhan Kuota Kebanyakan orang gajian sebulan sekali. Nah sehabis gajian ini baiknya menjadi momentum untuk mengukur kebutuhan data kita. Ada baiknya memilih paket bulanan daripada mingguan serta harian, karena jatuhnya akan lebih hemat. Yang paling penting justru adalah memastikan dan memilih paket kuota yang paling tepat dengan kebutuhan. Ingat, paling tepat, tidak kurang ataupun lebih. Bila memilih paket kuota kecil, padahal kebutuhan banyak, misalnya untuk game

Charger Rusak

Menyebalkan, ya itulah yang saya rasakan hari ini. Charger ponsel yang rusak bisa menjadi masalah serius. Dulu mungkin tak se-serius saat ini. Charger ponsel dulu mungkin hanya hal biasa yang kita temui di akhir aktivitas hari. Bahkan hal ini dianggap remeh, kala semua bisa digantikan desktop charger, sebuah charger murah meriah yang bisa digunakan untuk tipe baterai ponsel apa saja. Kelemahannya mungkin harus mencopot batetainya, namun tak masalah jika dilakukan di malam hari kala beristirahat tidur. Lagian, siapa sih yang hendak menelepon atau SMS di larut malam. Sekarang berubah. Seiring perkembangan jaman, charger tak lagi diremehkan seperti dulu. Baterai tak hanya memberikan nyawa pada ponsel semata. Lebih dalam lagi, daya di ponsel dibutuhkan untuk menjamin berjalannya aktivitas seharian di ponsel berlangsung lancar. Setengah nyawa kehidupan kita, mungkin berlebihan tapi disadari atau tidak berada di ponsel. Mencatat aktivitas, berhubungan serta berinteraksi dilakukan melalui po

Setia Bersama XL

Hari ini merupakan ulang tahun ke 19 salah satu operator telekomunikasi di Indonesia yakni XL. Kebetulan saya merupakan salah satu penggunanya, belum lama sih, mungkin baru sekitar 5 tahun. Saya ingat betul, pertama saya memiliki nomor XL ini ketika baru pertama kali bekerja di Jakarta, tahun 2010 lalu. Dan, di hari ulang tahunnya ini, saya sekedar ingin berbagi cerita kenapa saya bisa "betah" menggunakan operator yang satu ini. Terus terang, saya kerap mempertimbangkan menggunakan operator lain sebagai nomor utama. Hal itu dikarenakan hanya saya yang menggunakan operator XL di keluarga bahkan kantor saya. Pertimbangan biaya kerap menjadi alasan saya untuk mengganti operator. Bukan rahasia, ketika kita menelepon ke nomor operator lain, tentu saja biaya untuk membeli pulsa akan semakin membengkak. Ketika pertama kali menggunakan nomor XL, tidak ada bayangan bakal menggunakannya untuk jangka waktu yang lama. Saya pertama menggunakannya di tahun 2010. Pada saat itu tent

Kala Twit Tak Lagi Dibatasi 140 Karakter

Sore ini, saya membaca sebuah artikel yang isinya rumor. Artikel tersebut berisi rumor yang menyatakan jika Twitter mungkin saja tak lagi membatasi 140 karakter ketika menulis sebuah twit.  Ya, selama ini memang Twitter identik dengan posting yang pendek maksimal 140 karakter saja. Meskipun masih berupa rumor yang tentu saja tak perlu kita percayai lebih lanjut, saya tertarik untuk sedikit membayangkan bagaimana jadinya bila twit tak lagi dibatasi maksimal 140 karakter. Satu sisi, mungkin berguna dalam menyampaikan twit secara lebih jelas, namun juga mungkin sedikit aneh sebagai konsekuensinya. 1. Tampilan Tak Lagi Minimalis Salah satu keunggulan Twitter selama ini adalah tampilannya yang minimalis dan dan efisien. Dengan pembatasan karakter, maka tampilan linimasa jadi lebih minimalis dan enak untuk dipantau. Tampilan ini pastinya akan berubah jikalau orang-orang di timeline menulis panjang lebar kala twit tak lagi dibatasi sebanyak 140 karaktet. Fitur read more mungkin n

Internet Bagai Candu

Saya menghabiskan lebih dari 8 GB per bulan untuk mengakses internet, atau setara dengan Rp. 200 ribu. Bagi saya, internet merupakan salah satu aktivitas wajib setiap harinya yang mungkin sulit (jika tak dapat dikatakan mustahil) untuk ditinggalkan. Disaat koneksi internet bermasalah, hal tersebut membuat saya panik dan kadang hingga memaki akun customer service di Twitter. Internet bagi saya telah menjadi bagian dari gaya hidup. Saya pun tak sendiri, banyak juga orang lain yang seperti itu. Bahkan beberapa lebih boros. Penggunaan 8 GB lebih bagi saya didominasi oleh sosial media dan messaging. Beberapa orang bahkan sampai kecanduan game online yang lebih banyak menghabiskan kuota daripada saya. Semua ini tak dapat disalahkan. Ini merupakan dampak dari kemajuan teknologi yang makin pesat. Kemajuan yang tak terelakkan ini telah mengubah gaya hidup masyarakat perkotaan dan mungkin juga pedesaan. Internet memang mengakibatkan kebutuhan semakin membengkak, namun itu risiko dari sebuah

Politik Media Sosial

Belakangan, saya memperhatikan sebuah fenomena menarik di Twitter. Pendukung pemerintah dan oposisi saling serang menyerang dalam bentuk tagar (hastag). Kedua kubu saling bersaing menjadikan tagar andalannya menjadi trending topic di Twitter. Sebagai salah satu negara besar pengguna media sosial, fenomena ini lumrah terjadi di era digital seperti saat ini. Sebenarnya, sudah banyak fenomena penggunaan media sosial di ranah politik. Media sosial seperti Twitter menjadi tempat favorit bagi masyarakat menyampaikan pendapat mereka. Twitter juga menjadi tempat efektif bagi seorang pemimpin mendengar keluhan rakyatnya. Media sosial bisa menjembatani pemerintah dan masyarakat yang selama ini cenderung tercipta jembatan yang cukup besar. Kembali ke masalah perang tagar di Twitter. Sebenarnya ini bukanlah cara tepat dalam mengukur seperti apa kondisi politik sebuah negara. Bagaimanapun juga, perang tagar ini bisa disetting mesialnya saja menggunakan bot untuk menjadikan tagar yang diusung menj