Kebijakan Blokir IMEI
Wacana pemblokiran ponsel dengan
IMEI yang tidak diperuntukkan untuk pasar Indonesia kembali mengemuka
belakangan ini. Wacana yang sebenarnya sudah berlangsung lama, namun digulirkan
seiring keseriusan pemerintah mengambil kebijakan ini per 17 Agustus 2019.
Payung hukum masih disusun, beberapa pihak masih menimbang-nimbang dan bersuara
terkait kebijakan yang diharapkan memutuskan mata rantai menjamurnya ponsel
ilegal (black market) di Indonesia.
Saya tak perlu menjelaskan disini seperti apa blokir IMEI ini nantinya, karena
pemberitaan ada dimana-mana dan juga peraturan yang masih belum jelas.
Terlepas dari pro kontra kebijakan
ini, menurut saya ada dua hal utama yang menjadi landasan diterapkannya
kebijakan ini. Satu sisi kebijakan blokir ini adalah usaha pemerintah untuk
melindungi warganya. Dengan adanya kebijakan ini, maka ponsel yang beredar di
pasaran akan melindungi kepentingan konsumen. Seperti halnya kebijakan TKDN,
hal tersebut menjadi dasar kejelasan status serta hak konsumen dalam
menggunakan ponsel. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga berarti usaha
pemerintah untuk menutupi gagalnya dalam membendung ponsel-ponsel ilegal masuk
ke Indonesia.
Melindungi Konsumen
Kebijakan pemblokiran IMEI yang
tidak terdaftar ini bertujuan untuk melindungi hak konsumen selaku pengguna
ponsel. Dengan membeli serta menggunakan ponsel yang memang diperuntukkan untuk
pasar Indonesia, menjadikan konsumen nyaman karena adanya kepastian hukum
ketika barang yang mereka beli bermasalah. Berbeda halnya dengan ketika
menggunakan ponsel ilegal, maka kepastian garansi pun dipertanyakan. Memang,
biasanya penjual ponsel BM memberikan garansi (biasanya disebut garansi
distributor) namun, tentu saja kapasitas dan kejelasan statusnya berbeda dengan
garansi resmi yang memang diperuntukkan untuk pasar Indonesia.
Pihak yang diuntungkan dengan
adanya kebijakan ini tentu saja konsumen (dalam negeri) sebagai end user. Dengan membeli ponsel resmi
maka setidaknya hak mereka terjamin oleh garansi resmi yang diberikan oleh produsen
ponsel. Namun, kebijakan ini juga membatasi pilihan ponsel yang bisa dibeli
oleh masyarakat. Apalagi, seperti kita tahu beberapa pabrikan tidak lagi
berjualan di Indonesia, sebut saja misalnya SONY, HTC, dan lain sebagainya.
Beberapa pabrikan di Indonesia pun seperti Xiaomi, Oppo, dan Vivo terkadang
tidak membawa produk unggulan (flagship)
mereka ke pasar Indonesia. Pilihan dihadapkan pada konsumen jika membeli
produk-produk yang tidak beredar resmi tersebut. Pilhannya tentu saja mau
mengabaikannya, atau membeli namun akan diblokir.
Problem lainnya ada para turis
ataupun WNA yang ada di Indonesia. Apakah mereka harus membeli ponsel resmi
agar tidak diblokir dalam menggunakan layanan telekomunikasi di Indonesia?
Sebenarnya pemerintah telah mengagendakan solusi untuk permasalahan ini.
Nantinya, ponsel yang statusnya non resmi tersebut akan diberi kesempatan untuk
didaftarkan. Saya setuju jika kebijakan ini diberlakukan, namun hendaklah
setelah diberikan pendaftaran tersebut status ponsel akan legal secara
permanen. Karena bila status legal ini diberikan batasan waktu (misalnya dua
tahun) tetap saja akan timbul permasalahan baru. Biasanya ponsel-ponsel status flagship akan beredar sangat lama
diperjualbelikan. Apesnya bila kebijakan ini memiliki jangka waktu tertentu,
ponsel tak lagi bisa digunakan, tentunya akan merugikan pengguna terakhir, yang
bisa saja golongan menengah ke bawah yang mengharapkan ponsel bagus namun
bekas.
Bagaimana Ponsel Black Market
Bisa Beredar?
Sebenarnya ini pertanyaan besar
yang hendaknya dijawab oleh pemerintah mengapa ponsel-ponsel ilegal tersebut
bisa banyak berada di Indonesia. Kebijakan ini tentu saja tidak akan perlu
diberlakukan, rakyat tak perlu jadi korban seandainya pemerintah bisa menutup
rapat dan benar dalam melakukan pengawasan ponsel-ponsel yang masuk ke
Indonesia. Jujur saja, ponsel-ponsel BM saat ini cukup mudah ditemukan di
pasaran baik daring (online) maupun
luring (luring). Banyak kita temui
dengan embel-embel “garansi distributor” ponsel-ponsel yang diperuntukkan untuk
luar negeri bebas dijual di Indonesia. Ini sebenarnya PR besar pemerintah untuk
melakukan evaluasi bagaimana ponsel-ponsel tersebut bisa masuk ke Indonesia,
sebelum memutuskan memberlakukan kebijakan pemblokiran yang bisa saja merugikan
rakyat banyak. Jangan atas kesalahan pemerintah, rakyat yang menjadi korban. Kita menunggu, semoga akan ada keputusan yang terbaik.
Komentar