Media Sosial, Identitas Kedua
Bangun tidur tadi pagi, saya dikejutkan dengan salah satu mention di Twitter saya. Ada yang mencari kontak ataupun alamat seseorang yang akunnya sudah tidak aktif beberapa bulan. Konon
katanya, akun tersebut selingkuh dengan istrinya.
Saya sendiri tidak membalas mention tersebut. Saya pribadi mengenal akun tersebut hanya di Twitter saja,
tidak pernah bertemu secara langsung. Jadi, saya tidak bisa memberikan komentar apapun, serta tidak membalas mention tersebut.
Hanya saja, hal ini menjadi menarik. Kala seseorang menghindar ataupun menghilang di dunia nyata, bisa
jadi orang-orang yang berinteraksi dengannya di media sosial "diinterogasi" guna mencari ataupun melacak keberadaan orang tersebut. Seolah media sosial menjadi ajang untuk mencari serta melacak keberadaan sang pemilik akun yang tiba-tiba menghilang.
Media sosial saat ini telah menjadi sebuah identitas kedua. Akun media sosial merupakan representasi dari
tiap individu di dunia nyata. Oleh karenanya, beberapa orang yang mungkin keberatan identitasnya terungkap memilih menjadi anonim di media sosial.
Sebagai sebuah identitas kedua, maka sebaiknya dalam menggunakan media sosial haruslah menjadi diri sendiri.
Hal tersebut dimungkinkan agar kita bisa lebih bertanggung-jawab dalam berbagi apapun di media sosial. Karena media sosial merupakan ranah publik yang dapat dibaca serta dilihat oleh banyak orang.
Pun dengan interaksi di dunia nyata juga hendaknya seiring dengan apa yang kita bagi di media sosial. Ya, jangan sampai apa yang menimpa akun diatas terjadi. Karena sebuah media
sosial juga dapat menyebabkan bagi pemiliknya dikarenakan posting yang tidak terlalu dipikirkan dampak ke depan. Serta jangan sampai pula problema di dunia nyata terbawa hingga ke media sosial seperti kasus diatas. Padahal,
penggunaan media sosial untuk berinteraksi dengan banyak orang-orang yang baru ataupun lama bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bukankah tidak ada salahnya menyambung tali silaturahmi dengan beragam orang.
Komentar