Share Opini Terkait Headline MediaIndonesia.com

MediaIndonesia.com Rabu, 5 Januari 2011 mengambil editorial tentang Liga Premier Indonesia (LPI). Liga ini menjadi hal yang "kontroversial" karena induk sepak bola tertinggi di negara ini yakni PSSI, menganggap bahwa LPI adalah illegal. Konon katanya, LPI bukanlah kompetisi yang ada di bawah PSSI. Selain mengancam LPI ke meja hijau, PSSI juga mengatakan bahwa pemain yang bermain di LPI tidak akan dipanggil ke tim nasional. Pertanyaan lalu muncul, bagaimana dengan Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey Kurniawan? Bukankah mereka adalah pemain-pemain yang digadang-gadang menjadi pemain masa depan timnas? Dalam jangka pendek pun timnas harus berkonsentrasi untuk mempersiapkan Sea Games 2011 di Indonesia.
Munculnya LPI, menurut saya mengandung dua sisi positif dan negatf yang mempengaruhinya. Sisi pertama, LPI muncul sebagai bentuk keprihatinan orang-orang yang mengaku ingin memperbaiki sepak bola nasional. Menurut mereka, tim nasional yang baik dapat terbentuk dari iklim kompetisi yang profesional. Sisi kedua, LPI muncul sebagai sikap penolakan terhadap kompetisi yang saat ini telah ada. Mereka merasa iklim kompetisi saat ini belum dijalankan secara profesional, sehingga perlu dibentuk alternatif lain untuk memperbaikinya dengan LPI.
Tentunya setiap pihak, hendaknya memandang semua hal sebagai sesuatu yang positif. LPI bagaimanapun juga merupakan kompetisi yang "berpeluang" untuk menjadikan alternatif pencarian pemain untuk timnas selain dari LSI yang saat ini telah ada. Terlepas dari sah tidaknya, secara peraturan, LPI juga harus meminta izin dari PSSI sebelum menyelenggarakan kompetisi, pun halnya PSSI hendaknya bersikap arif dalam menanggapinya.
Hal inilah yang kurang antara LPI dan PSSI mengklaim bahwa keputusan mereka lah yang terbaik, padahal semua memiliki persamaan dan perbedaan tersendiri yang juga harus diperhatikan secara fair. Sikap dari PSSI juga tak perlulah ancam mengancam secara kekanak-kanakan. Satu hal yang disesalkan adalah sikap PSSI yang melarang pemain dari luar ISL bermain untuk tim nasional. Inilah sikap bodoh sebuah organisasi. Mungkin memang klub peserta maupun LPI melanggar ketentuan PSSI, namun hendaknya pemain jangan dijadikan korban.
Seorang yang bermain di tim nasional merupakan putra terbaik dari negeri ini. Semua warga negara (dalam hal ini pemain) memiliki hak yang sama untuk berkesempatan mengenakan kostum timnas, sepanjang dia memang memiliki kemampuan. Semua pemain baik itu bermain di LSI, LPI, luar negeri seperti syamsir alam, jajang mulyana, bahkan di kelas tarkam (tarikan kampung) sekalipun tetap bisa menjadi pemain tim nasional. Bila PSSI membeda-bedakan para pemain tersebut, menurut saya PSSI telah menjadi organisasi yang rasisme, yang sebenarnya FIFA sangat melarangnya dalam sepak bola.
Apapun permasalahan dengan klub peserta LPI, hendaknya dipisahkan dengan para pemain. Janganlah pemain menjadi korban. Para pemain merupakan warga negara biasa yang senang bermain sepak bola, mereka tidak begitu mengerti dengan situasi politik negeri ini. Kita ambil contoh Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey Kurniawan yang rela melepas kewarganegaraan lama hanya untuk menjadi WNI agar bisa membela timnas Indonesia yang merupakan impian mereka. Tegakah kita mengubur impian mereka dengan cara-cara bodoh seperti di atas?
Pun demikian klub yang memilih bermain di LPI juga harus jernih mengambil keputusan. Bila pemain mereka tidak ingin bermain untuk klubnya, maka mereka harus legowo untuk menerimanya, tanpa perlu mengancam dengan sanksi membayar dua kali lipat nilai kontrak. Yang perlu membayar sebenarnya bukan pemain, namun harus PSSI sebagai konsekuensi mengilegalkan kompetisi tersebut. Pemain adalah aktor dalam sepak bola, jangan sampai klub maupun organisasi terlalu mencampuri, cukup mereka menjadi semacam tempat berlatih dan menimba ilmu bagi para pemain. Jauhkanlah para pemain dengan urusan politik, sehingga mereka hanya berkonsentrasi untuk berprestasi dalam sepak bola. Bukankah amanat Konggres Sepak Bola (KSN) yang telah berlangsung untuk kemajuan sepak bola Indonesia.
Sekarang lupakanlah sejenak keinginan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sekarang kita tinggal berkonsentrasi untuk membentuk iklim yang baik dalam kompetisi sepak bola nasional. Indonesia telah memulai dengan baik dalam Piala AFF kemarin, yang meskipun gagal juara, namun dukungan masyarakat telah begitu besar. Ini menjadi momentum awal bagi kebangkitan sepak bola nasional.
Saran saya, sekarang tak perlu lagi kita bersinggungan tentang legal ataupun illegal. Semua pihak yang terkait dengan sepak bola nasional hendaknya duduk satu meja membahas tentang kedepannya dari iklim kompetisi sepak bola nasional. Carilah jalan tengah yang terbaik untuk membentuk sepak bola yang baik di Indonesia. Suatu saat juga diharapkan Liga Indonesia dan Tim Nasional Indonesia menjadi yang nomor satu di Asia.
Berikut Headline dari mediaindonesia.com :)
Selamat Datang Liga Primer
Rabu, 05 Januari 2011 00:01 WIB       
SEBUAH kompetisi sepak bola profesional dan mandiri lahir di Tanah Air. Namanya Liga Primer Indonesia (LPI).

Kota Solo di Jawa Tengah akan mencatatkan diri dalam sejarah karena di sinilah bergulir untuk pertama kali kompetisi LPI pada 8 Januari nanti. Klub Kota Malang, Persema, adalah salah satu anggota baru yang berani melawan borgol kompetisi yang selama ini dikunci rapat oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Si jabang bayi ini belum lahir saja sudah dicekik PSSI yang merasa hegemoni mereka terganggu. Berbagai alasan dicari untuk menggagalkan kelahiran LPI yang digagas pengusaha Arifin Panigoro itu.

PSSI menilai LPI dan kegiatannya ilegal. Klub yang menjadi anggota LPI tidak diakui PSSI dan para pemainnya dilarang bergabung ke dalam tim nasional. Sikap PSSI menyebabkan pemain potensial Irfan Bachdim yang sejak awal bergabung dengan Persema terancam dicoret dari timnas.

Liga Primer lahir di momen yang tepat. Tepat karena inilah saat yang belum pernah terjadi dalam sejarah sepak bola, publik begitu antusias menonton dan membayar. Banjir penonton yang antre karcis dalam turnamen Piala Suzuki yang baru lalu adalah contoh kebangkitan antusiasme itu.

Ketika PSSI memvonis LPI sebagai kegiatan ilegal, jelas terlihat orientasi yang sangat berbeda di antara keduanya. PSSI lebih mengutamakan legalitas organisasi dan para pengurusnya, sedangkan LPI fokus pada mutu kompetisi, sesuatu yang boleh dikatakan telah mati selama era kepemimpinan Nurdin Halid. Itulah sebabnya desakan publik agar Nurdin mengundurkan diri tidaklah mengada-ada.

Profesionalisme dan kemandirian adalah perbedaan fundamental antara LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) yang dikelola PSSI. LPI menggerakkan kompetisi tanpa menyusu kepada APBD, sedangkan LSI bergantung pada suntikan dana pemerintah. Kalau sebuah kompetisi masih mengemis dana pemerintah, bagaimana mungkin menegakkan kemandirian?

Terlihat benar betapa PSSI lebih mementingkan establishment daripada mutu. LPI yang tidak menuntut diakui atau tidak oleh FIFA dilihat Nurdin dkk sebagai jalan lain perebutan takhta kepemimpinan PSSI.

Publik tidak membutuhkan itu. Pecinta sepak bola di Tanah Air menuntut mutu sepak bola sebagai permainan yang sekaligus enak sebagai tontonan. Sepak bola yang enak ditonton telah mati di tangan Nurdin.

Seharusnya PSSI menerima kehadiran LPI dengan lapang dada karena itulah organisasi yang memperkaya kompetisi di Tanah Air. Dari kompetisi yang kaya dan bermutu akan lahir tim sepak bola yang bermutu di tingkat dunia. Bila sepak bola kita bermutu, keinginan Nurdin menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia masuk akal.

Yang sulit diterima akal sehat adalah keinginan PSSI menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia di tengah kompetisi sepak bola yang amburadul.

Publik tidak ingin selera sepak bola mereka dikelabui dan dijajah kompetisi dengan PSSI sebagai penyelenggara tunggal. Karena itu, kita sambut gembira kompetisi Liga Primer yang menjanjikan mutu untuk memperkaya kualitas sepak bola Indonesia. Apanya yang salah dengan LPI? 

Sumber : mediaindonesia.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Redmi 5 Plus di 2019

Langkah Memperbaiki Notifikasi Whatsapp Telat Masuk di Nokia 5.1 Plus

Review 4Connect Audio Receiver