Dalam Cengkraman Kapitalisme
Sudah hampir 68 tahun Indonesia merdeka, negara ini pun telah memiliki cita-cita untuk menyejahterakan penduduknya. Ya, semua penduduk yang ada di Indonesia haruslah diperjuangkan kesejahteraannya sebagai bagian dari cita-cita kemerdekaan. Namun jauh panggang daripada api, kesejahteraan yang didengung-dengungkan hanya dapat dinikmati kalangan tertentu, pemilik modal dan keuangan yang kuat (baca : kapitalisme).
Saya mengambil contoh pada pembangunan gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Sebagai ibukota, pusat pemerintahan maupun bisnis, Jakarta mulai 'bersolek' menunjukkan kemajuannya yang banyak membuat iri daerah lain. Gedung-gedung pencakar langit mulai dibangun di setiap sudut. Namun sayangnya, pembangunan ini memakan korban. Dengan kekuatan uang, para pemodal membeli tanah-tanah rawa, dan juga pemukiman-pemukiman kecil, mungkin memang mereka memiliki kekuatan uang, dan tidak disalahkan pula mereka melakukan hal tersebut, namun secara etika, mereka menunjukkan kapitalisme sebagai kekuatan untuk mencapai keinginannya.
Banjir dan kemacetan di Jakarta bukanlah semata-mata imbas masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pembangunan gedung-gedung apartemen dan perkantoran juga turut menjadi imbas terjadinya masalah menahun yang dihadapi oleh Jakarta. Berapa banyak kita lihat rawa-rawa tempat menampung air kini berubah menjadi properti bisnis dari kaum kapitalis? Membuat air tak lagi lancar mengalir ke laut, pun terserap ke dalam tanah.
Seyogyanya pihak kapitalis dalam hal ini, tidak terlalu memperturutkan kemauannya dalam menguasai berbagai bisnis properti. Masyarakat menengah ke bawah, bahkan warga asli betawi pun mulai terpinggirkan. Mereka dipaksa mengalah dengan kekuatan uang, dan dipaksa hengkang dari tempat yang mereka tinggali dari kecil.
Dalam Ilmu Ekonomi yang pernah saya pelajari, di dalam pembangunan sentra-sentra ekonomi baru, misalnya pabrik maupun perkantoran, perlu dipikirkan juga imbal balik bagi masyarakat sekitar, misalnya menjadi karyawan, maupun bisnis-bisnis pendukung seperti kontrakan, maupun warung makan. Namun yang terjadi di Jakarta lain, setiap jengkal tanah yang ada dibangun gedung bertingkat. Mereka membayar dengan kekuatan uang yang dimiliki untuk menggusur pemukiman, yang diatasnya ada warga asli, kontrakan-kontrakan, masyarakat urban yang hidup pas-pasan. Para kapitalis ini tidak peduli, yang penting mereka bisa membangun gedung baru, agar bisnis properti mereka terus berkembang.
Bagi sang pemilik lahan, mungkin ini tak terlalu menjadi masalah, rumah maupun tanah yang mereka miliki diganti dengan nilai uang yang begitu besar. Namun, mari kita telaah kembali, kota Jakarta adalah kota tujuan para pendatang, mereka datang dari berbagai kota di Indonesia demi ikut mengais rezeki di ibukota. Sebagai seorang pendatang, tentunya mereka tidak memiliki tempat tinggal di kota ini. Mereka akan mengontrak sebuah kamar petakan, agar bisa lebih menghemat kebutuhan hidup. Masalah datang saat kaum kapitalis menyerobot kontrakan yang mereka tinggali, terpaksa mereka direpotkan dengan mencari tempat yang baru, lama kelamaan akan menjauh dari tempat kerja mereka.
Sebuah gedung perkantoran tentu membutuhkan karyawan di dalamnya. Dan beberapa karyawan maupun masyarakat yang lain memiliki keterbatasan ekonomi. Mereka mungkin hanya mampu menyewa tempat seadanya di Jakarta sebagai tempat tinggal. Penggusuran demi gedung bertingkat yang memanjakan kapitalis akan menyusahkan mereka. Jangankan membeli tempat tinggal di Jakarta, bertahan hidup saja kadang kesulitan.
Pemindahan kaum masyarakat golongan menengah ke bawah ini pada suatu tempat di pinggiran Jakarta bukanlah solusi yang bijak. Biaya transportasi mereka akan melonjak, belum lagi dengan demikian lalu lintas dari dan menuju Jakarta akan makin penuh, masalah kemacetan akan semakin parah.
Di dalam tata ruang perkotaan hal seperti ini perlu menjadi perhatian. Bukan hanya kaum kapitalis saja yang berhak mengais rupiah di ibukota. Jika tidak ada solusi mencerdaskan kaum menengah ke bawah agar nyaman dalam bekerja, maka hampir pasti mereka akan tergerus oleh uang. Keberanian untuk pengendalian kapitalisme harus secepatnya diberlakukan, agar kesejahteraan juga bisa dinikmati oleh semua orang.
Komentar