Mencari Sebuah Hiburan
Saya
sering ke Mall Ambasador di wilayah Kuningan, Jakarta. Maklum, kantor
dan tempat kost saya berada di sekitar situ. Mall Ambasador sudah
sering saya kunjungi sejak 5 tahun yang lalu hingga kini tentunya.
Ada
yang berubah, dulu di depan Mall tersebut, diantara dua ruas jalan
Dr. Satrio selalu ada "pengamen" atau apapun namanya yang
memainkan topeng monyet. Dengan monyet peliharaannya, sang empu
menghibur orang-orang yang lewat.
Saya
sendiri cukup terhibur dengan aksi topeng monyet tersebut. Saya
menganggap lucu monyet yang bisa melakukan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh manusia. Namun sayang, sekarang hiburan tersebut
dilarang oleh pemerintah daerah. Dan sudah lama pun saya tak melihat
lagi aksi topeng monyet tersebut.
Topeng
monyet yang saya lihat tersebut adalah bentu sebuah hiburan. Saya
menilai itulah hiburan yang murah meriah. Pengamen topeng monyet
tidak memungut biaya bagi "penontonnya". Mereka mengharap
imbalan seikhlasnya.
Hiburan
Rakyat Kecil Seperti Apa?
Situasi
berbeda saya saksikan akhir pekan lalu. Long
weekend
saya manfaatkan untuk menonton bioskop, kebetulan saya mendapatkan
tiket gratis menonton film yang sedang naik daun "Fast and
Furious 7". Penonton membludak, saya melihat harga tiket 50.000,
ditambah makanan dan bila mengajak keluarga saya pikir bisa habis
ratusan ribu dalam sekali menonton.
Itulah
beda sebuah "segmentasi hiburan" atau apapun namanya yang
saya tidak ketahui. Penggemar topeng monyet tentunya berbeda dengan
yang hobi menonton film si bioskop. Untuk menyiasati harga tiket yang
mahal, orang mungkin lebih memilih menonton DVD bajakan yang banyak
dijual dengan harga hanya Rp. 7.000 per kepingnya, silakan bandingkan
dengan harga tiket menonton bioskop yang bisa mencapai puluhan ribu.
Bagi
segementasi menengah ke bawah, mereka mungkin tidak berpikir jika DVD
bajakan tersebut melanggar hukum dan hak cipta. Yang mereka butuhkan
hanya hiburan yang murah meriah. Hiburan yang tidak menipiskan isi
dompet mereka.
Tak
hanya hal tersebut. Saya ambil contoh lain adalah perlu menjadi orang
kaya untuk bisa bebas menonton klub kesayangan di Liga Inggris
bertanding. Jika tidak, ya hanya puas dengan tayangan 2 kali seminggu
di TV nasional yang bisa diterima dengan antena biasa. Orang pun
makin kreatif, beberapa menggunakan streaming internet. Namun
lagi-lagi harga berbicar. Kuota internet untuk streaming ini tidak
murah dan lagi masih ada pemblokiran layanan streaming yang dianggap
ilegal ini.
Sungguh
sulit jika berpikir diantara dua kepentingan ini. Sebuah hiburan
murah dibenturkan dengan hak cipta sebuah karya yang mungkin tidak
mudah dan perlu dihargai. Solusi masalah ini lumayan kompleks. Selama
ada barang, masyarakat tentunya akan senantiasa mencari. Mungkin
perlu sebuah peraturan daerah seperti saat melarang topeng monyet.
Tapi entahlah, hiburan apalagi untuk rakyat jika semuanya yang murah
menjadi dilarang.
Komentar