Politik Media Sosial

Belakangan, saya memperhatikan sebuah fenomena menarik di Twitter. Pendukung pemerintah dan oposisi saling serang menyerang dalam bentuk tagar (hastag). Kedua kubu saling bersaing menjadikan tagar andalannya menjadi trending topic di Twitter. Sebagai salah satu negara besar pengguna media sosial, fenomena ini lumrah terjadi di era digital seperti saat ini.

Sebenarnya, sudah banyak fenomena penggunaan media sosial di ranah politik. Media sosial seperti Twitter menjadi tempat favorit bagi masyarakat menyampaikan pendapat mereka. Twitter juga menjadi tempat efektif bagi seorang pemimpin mendengar keluhan rakyatnya. Media sosial bisa menjembatani pemerintah dan masyarakat yang selama ini cenderung tercipta jembatan yang cukup besar.

Kembali ke masalah perang tagar di Twitter. Sebenarnya ini bukanlah cara tepat dalam mengukur seperti apa kondisi politik sebuah negara. Bagaimanapun juga, perang tagar ini bisa disetting mesialnya saja menggunakan bot untuk menjadikan tagar yang diusung menjadi trending topic. Hanya saja, entah siapa yang memulai, perang hastag makin memanas. Masing-masing kubu mengerahkan "pasukan" mereka masing-masing. Tak hanya akun asli, beberapa anonim dan bot pun ikut meramaikan. Sampai kapan perang tagar ini berakhir? Entahlah, saya juga tidak tahu.

Fenomena perang tagar ini mengandung dua aspek bila kita telaah lebih lanjut. Yang pertama, fenomena ini mencerminkan masyarakat rindu dan butuh tempat yang bisa dijadikan bahan curhatan mereka. Tempat mereka menuangkan uneg-uneg. Tempat dimana mereka bisa menyampaikan pendapat dan keinginan. Namun, apakah suara tersebut juga mencerminkan aspirasi masyarakat secara umum? Sekali lagi tidak bisa dipastikan, karena hanya beberapa akun (dan bot) belum terlalu mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Jika dijadikan bahan pertimbangan pemerintah pun tak masalah, namun hal ini tetap bukanlah sebuah indikator, meski pernah kita melihat kekuatan media sosial yang mampu meruntuhkan sebuah rezim suatu negara beberapa waktu yang lalu, tapi tahap perang hastag di Indonesia ini tak separah itu.

Hal yang kedua dari fenomena ini, sebenarnya bukanlah sebuah hal yang perlu dirisaukan. Politik tak perlu diselesaikan melalui media sosial semata. Politik bukanlah pertarungan kemenangan perang tagar. Lebih dari itu, pemerintah harusnya cukup fokus pada kinerja, tak perlu terlalu risau dengan serangan hastag di media sosial. Bila bekerja dengan baik, hastag apapun di media sosial tentunya tak akan terlalu berpengaruh. Pemerintah ataupun para pendukungnya lebih baik memecahkan problematika berbangsa ketimbang menghabiskan energi hanya untuk memenangkan pertarungan hastag. Bukan berarti perang hastag di media sosial harus diabaikan, namun dengan memberikan kerja nyata hasilnya saya rasa cukup untuk melawan kekuatan hastag. Hasil nyata lebih berpengaruh tentunya dibanding citra semu buatan bot di media sosial.

Bagaimanapun juga, seperti dibahas diatas media sosial merupakan alat yang efektif dalam menyampaikan pendapat. Media sosial dapat dijadikan bahan menghimpun pendapat masyarakat bagi seorang pemimpin. Media sosial mampu dijadikan referensi indikator tingkat kepuasan masyarakat. Mempertibangkan sebuah suara di media sosial sah-sah saja, namun jangan menghabiskan energi hanya disitu saja. Perang hastag hendaknya diimbangi pula dengan langkah di dunia nyata. Kerja! Kerja! Kerja! Kan itu yang didengungkan Presiden saat pertama dilantik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Redmi 5 Plus di 2019

Langkah Memperbaiki Notifikasi Whatsapp Telat Masuk di Nokia 5.1 Plus

Internet, Dunia Baru untuk Berekspresi