"Kebablasan" Berpendapat

Sore ini, timeline Twitter saya dipenuhi berbagai protes terkait kebijakan menyamarkan gambar (blur) yang dilakukan stasiun televisi saat menayangkan acara PON. Kebanyakan sih, protes ditujukan pada KPI yang menurut mereka telah membuat kebijakan sensor yang berlebihan, sehingga esensi tayangan justru tidak didapat oleh pemirsa televisi.

Saya tidak bermaksud untuk ikut dalam perdebatan blur tayangan televisi ini. Saya tidak dalam posisi mendukung ataupun menolak sensor yang dilakukan oleh KPI terhadap tayangan televisi di Indonesia. Namun, fenomena untuk saling menyampaikan pendapat di media sosial ini menarik, hingga opini-opini yang berkembang mampu menjadi trend (trending topic).

Kita bersyukur hidup di era digital yang serba mudah seperti saat ini, dimana kebebasan menyampaikan pendapat dijamin oleh undang-undang. Bahkan tak hanya itu, fasilitas guna menyampaikan pendapat pun telah banyak tersedia. Tak harus melakukan demonstrasi, menyampaikan pendapat bisa dilakukan di media sosial. Isu apapun bila diterima di media sosial, bisa berpotensi menjadi viral hingga menjelma sebagai isu publik.

"Dunia" media sosial begitu cair. Siapapun dan kalangan manapun memiliki kebebasan untuk menyampaikan apapun di media sosial. Media sosial tidak membatasi apapun yang disampaikan, asalkan tentu saja sesuai dengan syarat serta ketentuan yang telah mereka buat. Media sosial juga telah menjadi aplikasi favorit banyak orang pengguna ponsel pintar hingga isu apapun dapat menjadi viral.

Dengan karakteristik tersebut, orang lebih nyaman dalam menyampaikan pendapat di media sosial. Tak seperti masa lalu, dimana orang sangat takut untuk bersuara. Menulis di media sosial, bagi mereka adalah sebuah kebebasan. Mereka menulis dengan kuota yang dibeli sendiri, jadi bebas dong hendak menulis apapun.

Namun seringkali memang dilupakan bahwa kebebasan, pun di media sosial perlu tanggung jawab. Wajib adanya rem dan kontrol yang membatasi sebuah kebebasan agar tidak menjadi kebablasan. Karena sebenarnya dunia media sosial yang begitu bebas seringkali tidak dibarengi dengan kontrol terhadap berita bohong ataupun pendapat yang berlawanan.

Kembali ke kasus blur diatas. Setelah menjadi viral, akhirnya KPI menyampaikan klarifikasi. Apa yang disampaikan KPI ini saya anggap sebagai sebuah pembelaan terhadap sebuah isu yang dianggap "menyerang" mereka. Namun, tampaknya klarifikasi yang disampaikan oleh KPI tidak berpengaruh banyak pada serangan dan protes para pengguna media sosial pada kebijakan blur tersebut.

Dalam sebuah isu, perlu disadari pasti terdapat pro dan kontra yang membarenginya. Kebebasan menyampaikan pendapat dimanapun termasuk di media sosial hendaknya menyadari hal ini. Pendapat yang "pokoknya benar" alangkah baiknya jika dihindari. Tak hanya yang setuju dengan pendapat kita, namun klarifikasi dan pendapat sebaliknya patut pula untuk didengar. Dengan demikian akan tercipta sebuah interaksi yang sehat di media sosial. Karena sebenarnya kontrol itu perlu untuk menghindari kebebasan berpendapat berubah menjadi kebablasan berpendapat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Redmi 5 Plus di 2019

Langkah Memperbaiki Notifikasi Whatsapp Telat Masuk di Nokia 5.1 Plus

Internet, Dunia Baru untuk Berekspresi