"Buzzer", Lapangan Kerja Baru?

Setiap musim pemilihan, baik itu Pemilu, Pilpres ataupun Pilkada, selalu diramaikan dengan aksi para calon dan pendukungnya. Dan karena jaman sekarang aktivitas tidak hanya berkutat di dunia nyata, ranah media sosial pun menjadi sasaran. Bahkan mungkin bisa dikatakan kampanye melalui media sosial bisa lebih efektif, karena orang jaman sekarang lebih sering mengaksesnya ketimbang membaca koran ataupun menonton televisi yang sudah mulai ditinggalkan.

Di media sosial, memang merupakan wahana yang efektif dalam menyalurkan pendapat. Pun demikian halnya ketika dalam Pemilihan, media sosial menjadi senjata yang lumayan ampuh guna menyaring suara. Media sosial merupakan cara yang murah dan efektif dalam mendongkrak popularitas seorang calon. Karena itulah, tak heran banyak aksi saling endorse dan dukung pasangan pun mewarnai media sosial. Bahkan lama kelamaan makin ramai dan "panas" kala pendukung seorang calon saling bersitegang dengan pendukung calon yang lain dengan saling melempar argumen di media sosial.

Saling dukung tak hanya mewarnai ranah pemilihan demokratis di media sosial. Belakangan, media sosial sedang trend mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada 2017) dan lebih khusus menyoroti Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta. Entah kenapa gaung Pilkada daerah lain (yang kelak pemilihannya serentak) tak seramai Pilgub DKI Jakarta. Mungkin karena DKI Jakarta merupakan ibukota negara, atau mungkin faktor calon di dalamnya.

Pilkada DKI Jakarta diwarnai oleh hadirnya para buzzer di media sosial yang saling membanggakan calon yang didukungnya. Meskipun pasangan calon belum secara resmi ditetapkan oleh KPU, namun situasi diskusi politik di media sosial tetaplah memanas. Apalagi tak hanya aksi membanggakan calon yang diusung para buzzer semata, namun juga aksi menjatuhkan lawan, makin membuat suasana media sosial memanas. Ya, karena isu politik ini telah membuat media sosial memanas dan justru menenggelamkan topik lain.

Sebenarnya, buzzer tak hanya dikenal untuk urusan politik semata. Dulunya buzzer digunakan untuk meng-endorse sebuah produk. Istilahnya mungkin lebih supaya strategi pemasarannya lebih efektif dan murah. Buzzer-buzzer ini dibayar untuk memperkenalkan dan mempromosikan produknya. Ya benar, buzzer di media sosial dibayar. Bayaran tentu saja bergantung dari seberapa banyak follower yang dimilikinya.

Entah sejak kapan buzzer ini berpindah ke ranah politik. Buzzer di ranah politik sering meng-endorse dan membanggakan calon yang didukungnya. Mereka banyak mengaku relawan, tapi alangkah polosnya kita jika percaya begitu saja mereka tidak dibayar untuk membanggakan calon yang diusungnya. Apalagi dengan amat menggebu-gebu para buzzer ini dalam memuji calon dukungannya hingga rela "berdebat" dengan pendukung yang lain. Mereka ini jumlahnya banyak, dan mungkin bisa ratusan.

Tidak ada salah dengan buzzer apapun, termasuk di ranah politik. Hanya saja, saya pribadi tidak mau terjebak dalam "permainan" para buzzer. Saya tidak ingin ikut serta terlalu pusing pada urusan dukung mendukung. Pertama, saya tidak memiliki hak suara di Pilkada tersebut dan kedua saya enggan berlelah-lelah membanggakan calon yang tidak membayar saya. Dan saya bukan buzzer. Namun mungkin dengan dibayarnya buzzer ini, bisa menjadi lapangan kerja baru? Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Redmi 5 Plus di 2019

Langkah Memperbaiki Notifikasi Whatsapp Telat Masuk di Nokia 5.1 Plus

Internet, Dunia Baru untuk Berekspresi