Berpikir Sebelum Memposting
Di tengah kemacetan di jalanan
Jakarta, saya terinspirasi untuk menulis tulisan ini. Saya tertarik untuk ikut
mengomentari isu terkini yang menyeret Puteri Indonesia 2015 yang di-bully
setelah memposting foto di Instagram yang memperlihatkan dirinya memakai kaos
bergambar palu arit yang identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI),
organisasi ataupun paham yang dilarang keberadaannya di Indonesia.
Ada hal yang menarik, ternyata tingkat
pendidikan tidak begitu mempengaruhi kedewasaan dalam menggunakan media sosial.
Kasus-kasus yang terkait media sosial beberapa diantaranya justru menimpa
seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi. Ambil contoh kasus mahasiswi S2
yang dianggap menghina sebuah kota, hingga yang terbaru, seperti yang menimpa
Puteri Indonesia tadi.
Menjadi Puteri Indonesia bukanlah
status yang sembarangan. Menjadi Puteri Indonesia tentulah mengalami proses
seleksi yang ketat dan bukan orang sembarang. Dan mengingat posisinya sebagai
publik figur, tentunya apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya dia bisa
menyadari bisa menjadi pembicaraan publik.
Terlepas dari usianya yang masih
muda, dan mungkin saja tidak begitu faham dan tahu akan makna simbol palu arit,
posting di media sosial bisa sangat sensitif, apalagi jika dilakukan oleh
seorang publik figur sekelas Puteri Indonesia. Namun, sekelas Puteri Indonesia
tampaknya aneh jika dirinya tidak tahu akan hal ini. Sebagai seorang Puteri
Indonesia, tentunya dia menguasai negaranya dan belajar lebih mengenal tentang
Indonesia. Bukankah menjadi Puteri Indonesia, konon tak hanya berdasar kategori
cantik secara fisik semata?
Saya tak perlu terlalu jauh membahas
hal tersebut. Namun, kembali pada cara memposting sesuatu di media sosial,
membangunkan kita untuk kembali berhati-hati dan berpikir saat menulis. Seperti
kita paham bersama, media sosial merupakan tempat publik. Setiap posting ataupu
sesuatu yang kita bagi di media sosial, akan menjadi konsumsi publik. Dampak
dari posting tersebut pun akan menjadi ramai.
Kebebasan menyatakan pendapat melalui
media sosial memang dijamin. Orang berhak untuk memposting sesuatu apapun ke
akun media sosialnya. Akan tetapi, setiap kebebasan tentunya memiliki batasan.
Media sosial juga bisa menjadi sarana informasi untuk belajar. Kasus kaos palu
arit tadi misalnya, sisi positif dengan merebaknya kejadian ini, menjadi
momentum untuk mencari informasi terkait makna simbol tersebut. Namun tentunya
tida perlu kita menunggu ada kasus demikian baru belajar untuk mengetahuinya.
Kejadian-kejadian di atas menjadi
pelajaran bagi kita semua. Menulis status media sosial yang bukan hal kita
kuasai perlu kita pikirkan. Kita pemegang penuh tombol send dan delete
akun kita tersebut. Maksimalkan saja agar penggunaan media sosial bisa menjadi
hal yang positif.
Komentar