"Bully" di Media Sosial
Kamis, 19 Februari 2015, kalender
merupakan tanggal merah yang berarti merupakan hari libur Imlek. Namun kondisi
berbeda di bandara Soekarno-Hatta justru panas. Maskapai Lion Air dihujat dan
dimaki oleh para calon penumpangnya karena delay yang terlalu lama hingga 13
jam.
Suasana tak kalah panas bahkan lebih
justru ada di media sosial. Dan seperti biasa, keramaian itu berasal dari bully-an
dari pemilik Twitter ataupun Facebook. Meski bukan termasuk penumpang ataupun
pihak yang dirugikan, tapi justru pengguna yang ikut nyinyir dan berkomentar
negatif pada maskapai tersebut. Bahkan makin ramai dengan hastag serta
sindiran-sindiran yang dilontarkan.
Memang, dunia media sosial penuh
warna seperti itu. Lion Air bukanlah korban pertama nyinyiran para netizen. Dan
tiap ada sesuatu yang menjadi topik perbincangan, hampir pasti akan semakin
ramai dengan komentar-komentar di media sosial. Memang itulah yang menjadikan
media sosial penuh warna. Media sosial akan kaku dan hambar jika hanya
digunakan untuk berkomunikasi serta berinteraksi secara sederhana saja. Justru
yang menyebabkan penggunaan media sosial menjadi ramai dan populer karena
adanya nyinyiran bully, dan perdebatan baik ilmiah atau sekedar ikut
berkomentar.
Bullying yang terjadi karena sebuah peristiwa mungkin bisa menjadi
hal biasa di media sosial. Namun, terkadang bullying tersebut berdampak negatif
dan menjadi sesuatu yang tidak pantas jika tak dapat dikendalikan. Misalnya
saja, pengguna media sosial saat ini tidak hanya berisi orang dewasa. Banyak
pula anak kecil yang sebenarnya tidak atau belum cukup layak memiliki akun
media sosial ada di dalamnya. Bila mereka mengalami bullying yang terlalu
sadis, saat mereka belum dewasa untuk mengontrol emosi bisa mengalami gangguan
secara psikis karena bully-an yang diterima. Bisa saja gangguan ini
bertahan cukup lama pada diri mereka.
Bisa Berakhir Secara Fisik
dan Jalur Hukum
Bully terhada Lion Air mungkin saja
tidak akan berbuntut terlalu panjang. Berbeda jika bully tersebut diarahkan
secara pribadi. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam menanggapi sebuah
kritik ataupun nyinyiran dari orang. Dari yang cuek hingga menanggapi secara
serius. Seperti kita amati, nyinyir ataupun twitwar terutama bila terfokus pada
dua orang sering berakhir ke ranah hukum ataupun bahkan kontak fisik dengan
cara berkelahi. Hal ini tentunya tidak diharapkan terjadi.
Emosi perlu dikendalikan saat
menggunakan media sosial. Sesuatu yang mungkin kita anggap becanda bisa jadi
ditanggapi berlebihan dan serius oleh orang lain. Tak semua memiliki sudut
pandang yang sama. Gesekan ataupun beda pendapat merupakan hal yang lumrah
terjadi dalam interaksi, pun juga di ranah media sosial. Hanya saja, karena
merupakan tempat yang bersifat publik, tetap setiap pendapat hendaknya
dihargai. Hindari perdebatan dan bully yang sebenarnya tidak perlu. Media
sosial merupakan tempat yang menyenangkan. Bukan tempat menghakimi dan
memyudutkan orang lain.
Komentar